Matius 27: 62-66

Sabtu Sunyi.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada Sabtu Sunyi ini?

Alkitab mencatat bahwa para murid tidak melakukan apa-apa. Tak ada aktivitas sedikit pun. Dan memang tak ada catatan tentang itu. Agaknya mereka, yang sering difitnah sebagai pelanggar hari Sabat, sungguh-sungguh menghormati hari Sabat. Pantang melakukan pekerjaan di hari Sabat.

Lagi pula, Sang Guru telah tiada. Apa lagi yang bisa diharapkan? Apa lagi yang bisa dilakukan kecuali merenung untuk mengambil langkah-langkah setelah kepergian Sang Guru.

Tetapi, apakah tidak ada yang layak dicatat perihal Sabtu Sunyi ini? Hanya satu Injil yang menceritakan adanya kegiatan, yang mungkin memang dilakukan secara diam-diam, sehingga khalayak tak mungkin mengetahuinya. Demikianlah catatan Injil Matius 27: 62-66.

Menarik disimak. Imam-imam kepala dan orang-orang Farisi yang begitu getol menyalahkan Yesus dan para murid-Nya berkenaan dengan Sabat, sekarang telah melanggar hari Sabat itu sendiri. Demi apa? Demi sebuah tujuan: ”tujuan menghalalkan cara”. Demi sebuah tujuan yang dianggap baik, Imam-imam kepala dan orang-orang Farisi melanggar aturan ”perjalanan hari Sabat”.

”Perjalanan hari Sabat” adalah jarak yang diizinkan hukum Yahudi bagi orang yang melakukan perjalanan pada hari Sabat tanpa melanggar kekudusan hari itu, sekitar 2.000 yard (1.828 meter). Mereka datang menghadap Pontius Pilatus supaya kubur Yesus dijaga.

Dalam usulan itu, tampaklah peribahasa Jawa ”nabok njilih tangan”. Mereka tidak mau melakukannya sendirian. Mereka meminjam tangan orang lain untuk melakukannya—dalam hal ini Pilatus dan para prajurit. Dan jika ada persoalan di kemudian hari mereka dapat lepas tangan karena semua tanggung jawab ada pada Pilatus.

Bagaimana dengan kita? Baru saja kita memohon: ”Penuhi Kami ya Tuhan, dengan damai-Mu.” Dalam keheningan Sabtu Sunyi ini kita meminta Tuhan memenuhi kita dengan damai Tuhan. Bukan damai kita, tetapi damai Tuhan. Bukan damai menurut kita, tetapi damai menurut Tuhan.

Hening adalah saat di mana kita bisa mendengarkan lebih jelas suara kita dan Tuhan. Kebisingan dunia ini kadang membuat kita sulit mendengar suara kita sendiri; apa lagi suara Tuhan. Padahal dalam sebuah komunikasi yang baik perlu ada keheningan.

Tak gampang menyeimbangkan antara kata dan keheningan. Manusia yang meski bermulut satu dan bertelinga dua, acap lebih suka bicara ketimbang mendengar. Karena itulah, kita memohon Tuhan tinggal bersama kita dan menolong kita menyeimbangkan antara kata dan keheningan.

*#SalamWelasAsih*

*#SelamatMenghayatiSabtuSunyi*

*#TidakLebayTidakAbaiCOVID-19*

*NB: jika merasa diberkati melalui renungan ini,kirimkan ke saudara-saudara yang lain*


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *